Sabtu, 17 Januari 2015

KHAS SEMENDO "NASI BASI"

Orang bersuku Semendo sekarang tersebar hampir di semua provinsi di Indonesia. Aslinya suku ini banyak berdiam di Sumatera Selatan, misalnya di Kabupaten Muaraenim, Kecamatan Muaradua, sebagian di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Ogan Komering Ilir, Baturaja, dan beberapa daerah lainnya di Sumatera Selatan. Di Palembang, ibu kota Sumatera Selatan, etnik Semendo juga banyak. Sebagian ada juga yang menetap di Lampung dan daerah lainnya, yang berdekatan dengan Sumatera Selatan. Nama Semendo ini di internal etniknya akrab disapa “Semende”. Akhiran “e” memang khas suku bangsa ini.
Suku bangsa Semendo menganut matrilineal, artinya garis keturunan dari pihak ibu. Maka itu, ada istilah yang terkenal dari suku ini, yakni tunggu tubang. Apa itu? Tunggu tubangbermakna anak perempuan atau menantu perempuan pertama akan mendapatkan harta berumah rumah, tanah, dan ladang. Tapi, pemberian ini bukannya gratis. Tunggu tubangmesti mengelola harta itu dengan baik. Sebab, semua anak turun dari garis keturunan itu, kalau ada kebutuhan keuangan, berhak meminta kepada tunggu tubang. Misalnya untuk biaya sekolah, biaya menikah, dan pemecahan masalah dalam keluarga. Bisa dibilang, menjadi tunggu tubang ini berat tanggung jawabnya.
Sama dengan daerah lain, suku Semendo juga punya makanan khas. Meski tak banyak, ada juga beberapa. Di antaranya yang ingin kami perkenalkan dalam tulisan ini ialahkembuhung. Apa itu? Buat saya, kembuhung itu “nasi basi” khas orang Semendo. Kenapa sampai banyak yang menyebutnya nasi basi?
Mari kita dedahkan makanan khas suku Semendo ini. Kita mesti menyiapkan setengah kilogram ikan sungai atau kali. Orang Semendo lazim menyebutnya ikan pihik. Setelah itu, siapkan pula nasi dingin, kira-kira setengah bakul. Kalau sudah ada keduanya, aduk. Campurkan dan upayakan menyatu. Biar terasa sensasinya, gunakan tangan yang sudah dicuci bersih. Setelah nasi dan ikan kali mentah itu menyatu, masukkan ke dalam stoples. Cukup dua hari untuk mendapatkan kembuhung ini. Tapi kalau mau ekstrem, silakan disimpan selama sepekan. Dijamin baunya sangat menyengat. Namanya saja nasi basi! Ada-ada saja.
Cukup? Belum. Setelah dua hari atau sepekan kembuhung tadi siap, kita masih membutuhkan bumbu. Untuk bumbunya, siapkan bawang bombay, sereh dua batang yang dikeprek, dan cabai hijau yang dipotong-potong. Terakhir, siapkan garam secukupnya. Semua bumbu kemudian ditumis dengan api kecil. Setelah semua bumbu ditumis, masukkan kembuhung tadi. Tahan hidung dari mencium aroma khas dan menyengat ya. Aduklah secara merata. Tunggu beberapa menit, kembuhung tadi sudah siap dimakan.
Sensasi rasanya masam-masam segar. Makanlah dengan nasi panas. Meski bahan dasar tadi sudah nasi, tak cukup dimakan begitu saja. Kita butuh nasi panas. Dimakan dengan nasi ini membuat aroma menyengat kembuhung ini agak berkurang. Kalau dimakan siang hari, pasti menyegarkan. Sebab, sensasi rasanya memang sesuatu banget. Ibaratnya, nasi basi yang lazim dilarang untuk dimakan, kali ini mesti disantap. Memang sudah demikian aturannya membuat kembuhung.
Kalau mau makin ekstrem, semua bumbu tadi tidak usah ditumis. Bagaimana caranya? Setelah semua bumbu siap, kita butuh bambu. Nah, masukkan kembuhung dan bumbu tadi ke dalam bambu. Upayakan merata saat dimasukkan. Setelah masuk, bakarlah bambu tadi sekira 20 menit. Atur panasnya supaya api merata. Jangan lupa mebolak-balik bambu supaya setiap bagiannya terkena bara api yang cukup. Kata penikmatkembuhung, model dibakar dengan bambu ini lebih enak dan gurih ketimbang ditumis. Tapi soal baunya yang menyengat tetap saja terasa. Maka itu, usai menyantapkembuhung, tentu dengan leleran keringat, basuhlah tangan dengan sabun agak lama. Ini untuk menghilangkan aroma khas kembuhung tadi.
Sayangnya, saat saya menulis artikel ini, narasumber utama saya, bapak, tidak sempat membuatnya secara langsung. Maka itu, saya tidak menampilkan foto sama sekali. Apalagi dengan harus disimpan selama dua sampai tujuh hari, proses membuatkembuhung ini memang agak rumit. Tapi beberapa tahun lalu saya masih ingat dengan baik proses bapak membuat kembuhung itu. Jujur saja, menurut saya makanan itu ekstrem. Bahkan sangat ektrem. Kalau orang asli kota, saya kira bisa muntah begitu mencium bau khas kembuhung. Makanya kata bapak, hanya orang yang asli dari suku Semendo saja yang tahan dengan aroma kembuhung.
Sekarang, kata bapak, sudah sedikit orang yang mau membuat kembuhung. Padahal, meski aromanya menyengat, inilah kuliner khas jeme semende. Tidak ada di makanan suku bangsa lain yang seperti kembuhung ini. Kalaupun ada hajatan atau kendurian,kembuhung jarang dijadikan santapan. Tapi, untuk beberapa keluarga, sekadar mengingat memori dan khazanah budaya bangsa, kembuhung sesekali dibikin dan disantap bersama keluarga.
Apakah saya pernah mencicipinya? Pernah. Dulu. Dan aroma sampai sensasi di lidahnya masih terasa sampai dengan sekarang. Nasi panas, kembuhung yang ditumis, disantap beramai-ramai. Masam, gurih, dan pedasnya memang lain. Meski waktu itu, lebih banyak nasi yang saya santap ketimbang mencomot kembuhung di meja makan. Rasa dan aromanya itu, Gan. Enggak nahan. Hehehehe.
Meski rasa, tekstur, dan aroma kembuhung ini agak gimana gitu, ini tetaplah warisankuliner Nusantara. Kekhasannya ini, jika mampu diolah oleh pemerintah daerah yang peduli, katakanlah di seputar Sumatera Selatan dan Lampung, pasti menjadi poin yang bagus. Di Indonesia.Travel, makanan khas ini bisa jadi daya tarik tersendiri. Apalagi kalau dikaitkan dengan kesukaan wisatawan asing yang menyukai yang benar-benar Indonesia,kembuhung bisa menjadi salah satunya. Yuk, bikin kembuhung dan rasakan sensasinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar